Recent Posts

    Sehadapan dalam Secangkir Kopi


    Aku tidak menjawab. Hanya tersenyum, menyembunyikan sebuah rindu. Aku mencoba menjadi penikmat kopi untuk melupakan bahwa aku adalah penikmat teh, karena setiap kali aku mencium sedap aroma teh, ingatanku tentang Ayah semakin membuncah. Ayah yang selalu menyeduh teh pekat. Ayah yang selalu membuatkan teh untukku. Tehnya yang pekat lebih sering terlalu manis untukku. Ayah adalah lelaki penikmat teh, bukan lelaki kopi. Itulah mengapa, aku kecil hingga sekarang juga adalah penikmat teh, teh yang hangat. Sehangat kasihnya untukku. Sehangat doa-doanya dalam tiap sujud malamnya. Kini, tak ada lagi teh pekat dan terlalu manis buatan Ayah. 

    Sudah hampir empat bulan ayah pulang. Pulang kepada-Nya,kepada Tuhannya. Tuhannya yang juga Tuhanku, yang telah memberiku lelaki nomor satu sedunia. Lelaki yang sayup-sayup kudengar melantun ayat-ayat-Nya dalam sepertiga malam. Lelaki yang tidak pernah membiarkan tehnya untukku mendingin, dan memastikan aku menikmati hangat teh buatannya.
    Lalu, tentang kamu si lelaki kopi, kita tidak pernah sekalipun sehadapan untuk menikmati kopi dalam sebuah ketiadaan. Masing-masing kita akan menemukan orang lain untuk menilai dan memberi pilihan kopi mana yang lebih enak dinikmati.
    Meski begitu, akan selalu ada cerita untukmu disela perjamuan yang hanya selepas lalu. Dan dalam sebuah ketiadaan waktu untuk kita saling berbagi cerita tentang betapa sakitnya kehilangan,semoga kamu selalu menyempatkan waktu membaca surat-suratku.Kelak, ketika kita benar-benar sehadapan dalam secangkir kopi, akan kubiarkan kamu membacai mataku, membacai senyumku, membacai kerinduan.

    Belum ada Komentar untuk "Sehadapan dalam Secangkir Kopi"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel