Recent Posts

    Rupa Ibu

    Setelah sekian lama tidak menulis sebuah cerpen akhirnya lahir sebuah cerpen bertema Ibu, tentang sebuah tanya, seperti apa ibu? serupa apa ibu?. Memang membacalah sumber inspirasi, ide cerpen ini bahkan muncul ketika membaca novel Rindu karya Tere Liye. Cerpen ini telah dibukukan dalam bunga rampai karya Komunitas Guru Pengiat Literasi SMP N 1 Tegal, berjudul Risalah Mabuk Buku.


    MENGGAMBAR IBU
    Cerpen Kartika Hidayati *)

    Ibumu bunga. Begitu ayah dulu berkata. Saat itu, bermekaran bunga kertas di halam rumah kami. Angin sesekali menggoyangnya lembut. Aku diam. Mengamati bunga merah muda itu yang berayun manja. Aku mulai mengores penaku. Membuat lengkung kelopak pertama, kedua, ketiga. Aku sedang menggambar ibu.

    Ibumu hujan. Ayah berkata ketika tempias hujan masuk lewat kisi-kisi jendela dan aku berdiri menghadap jalanan yang kuyup. Deras. Halaman rumah kami mulai tergenang dan bunga kertas meredup. Dia kedinginan di sana, meski warnanya masih cantik. Dia menggigil, seperti aku yang gemetar memegang pensil. Aku mencoba menggambar ibu.

    Ibumu bulan separuh. Jawab ayahku. Aku memandang langit. Pekat. Bersih tanpa bintang. Hanya bulan melengkung. Terus aku menatapnya. Menunggu dia akan menjadi separuh. Lama sekali. Terlalu lama. Aku mulai kedinginan. Tapi belum menyerah. Masih menunggu bulan menjadi separuh karena aku harus menggambar ibu.

    “Aku sudah menggambar ibu,” aku menunjukkan gambarku pada Ayah yang sedang menekuri lantai.
    “Kamu belum selesai menggambar ibumu,” jawab ayahku. “Ibumu karang.”

    Aku tidak mengerti apa maksud ayahku. Aku tidak yakin dengan ayahku. Aku tetap membawa gambarku ke sekolah. Hari ini, Bu Guru pasti meminta kami menggumpulkan tugas menggambar ibu.
    Di kelas teman-temanku sudah membawa gambar ibu. Ramai bercerita. Tentang rambut ikal ibunya. Tentang mata bulan ibunya. Tentang tahi lalat di atas hidung ibunya. Tentang mulut ibunya yang besar. Bu Guru masuk. Semua terdiam. Mengucap salam.

    “Kedepan Ling dan tunjukkan gambarmu,” Bu Guru menunjukku setelah Abu, Hilman, Jamni, dan Rere menunjukkan gambarnya.

    Bingar suara tawa. Mereka menertawiku. Menertawakan gambar ibuku. Menertawakan ibuku. Aku marah. Aku menangis. Aku menangis sambil marah. Marah dan menangis. Semua diam. Menatapku takut.

    “Ini ibuku. Ini ibuku...”
    Aku tidak menyerah. Aku kembali bertanya kepada ayah. Aku harus kembali menggambar ibu. Menggambar ibu seperti mereka.
    “Ibumu lautan”
    “Ibumu debu”
    “Ibumu gelombang”
    “ibumu tulang”
    “Ibumu ladang"
    “Aku selalu menggambar apa yang ayah katakan dan selalu diterwakan.” Hari itu aku marah kepada ayahku ketika dia sedang asik menyisir rambutnya yang memanjang dan metap cermin yang retak. 

    Ayah menatapku. Memengang kepalaku.

    “Itu memang ibumu,” dia berkata lalu berlalu. Dia berjalan keluar. Menatap langit yang gelap dan bersih. Tanpa bintang, tanpa bulan. Dia menangis, dia tertawa, dia marah. Dia menangis dalam tawa. Dia tertawa dalam marah. Dia marah dalam tangis. Dia terduduk. Tersungkur di bawah langit Tuhan.

    “Itu ibumu,” ayah menunjuk langit.

    Aku mengambil kertas gambarku, mengambil pensilku. Aku kembali menggambar ibu.

    Setelah sebelas tahun. Aku kembali menggambar ibu. Benar-benar menggambar ibuku. Ia saat ini tepat dihadapanku dalam poisi siap aku gambar. Aku mengambil kertas gambarku, ibuku terseyum. Kubalas senyumnya. Sambil kugambar, ibu bercerita. Tentang ayah. Tentang bunga kertas yang ayah hadiahkan ketika berkata cinta. Tentang hujan dan syair rindu yang ayah kirimkan. Tentang bulan separuh ketika aku dilahirkan. Tentang lautan yang menjadi pemisah.

    “Sajak ayahmu tak cukup untuk makan,” ibu menyeka ujung matanya.

    Aku tetap fokus menggambar ibu. Menggambar alisnya yang lebat dan hitam. Menggambar garis-garis halus didahinya. Ibu kembali bercerita tentang ia dan ayah. Tentang karang yang jadi saksi keputus asaan. Tentang debu yang memenuhi rumah. Tentang gelombang pasang dan saat itu, ibu memutuskan mengikuti kapal besar dan menjadi cabo. Katanya, saat itu masih tiga bulan dan sangat kurus, menangis dalam gendongan ayah.

    Aku menggambar mata ibuku. Matanya seperti bulan separuh, tapi iris matanya cemerang seperti mata air. Aku menggambar bibirnya yang ranum. Menggambar rambutnya yang bergelombang, terurai menyentuh pundak.

    “Pulanglah, kembali ke ayahmu.”
    “Pulanglah, Bu”
    “Ayahmu bisa hidup dengan sajaknya, tapi ibumu tidak.”
    “Pulanglah.”

    Aku menuruti ibu. Aku meninggalkan ibu. Meninggalkan ia di sana. Meninggalkan ia ditempat yang besar. Tempat yang membesarkan namanya sebagai cabo. Tempat yang membuatnya menjadi bunga, menjadi hujan, menjadi lautan, menjadi gelombang. Dan ia bahagia di sana. Maka aku meninggalkannya. 

    Aku pulang sambil menangis. Juga bahagia. Aku menangis dalam bahagia. Aku pulang membawa gambar ibu. Benar-benar gambar ibu.

    Belum ada Komentar untuk "Rupa Ibu"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel