Recent Posts

    Komedi Putar

    (Juara 2  lomba menulis kenangan indah yang diadakan ELS Charachter tahun 2010)
    ___________________________________________________________________________________
            Telah lama aku tak membaui aroma itu. Tebu yang ditebang. Semarak pasar malam dengan segala kecerian komedi putar. Malam ini, setelah berpuluh tahun. Aku kembali larut dalam bingar pasar malam. Mencoba menghadirkan kenangan indah itu, aku dan kakek…
    *
    Semua anak bersorak sorai. Membahana. Semarak. Hari itu panen tebu. Aroma manis meruap, mengudara. Kami, sigap menunggui truk-truk pengangkut tebu. Begitu satu truk meninggalkan sawah dengan muatan penuh tebu, kami akan berlari. Cepat. Menempel erat, tak akan lepas sebelum tebu besar berhasil kami tarik. Tak peduli dengan kepul asap, sandal jepit jebol, tersungkur, atau bibir mencium aspal jalanan. Bagi kami kebanggaan itu lebih penting. Mendapat tebu besar dari truk gemuk.
                “Tarik terus!” Koko mengomando. Lengan besarnya masih berusaha menarik tangkapannya.
                “Tangkap!” Jaka melempar hasil tarikannya. Aku dan Wati memungut.
             Dan inilah saat pesta. Menikmati tebu hasil tangkapan. Curian sebenarnya. Kuharap pemilik maklum dan ikhlas supaya kami tak mulas. Mengunyah, menghisap, air tebu. Meski bibir mulai terasa perih, air gula itu masih menggoda. Maka, kami masih saja mengunyah hingga kering ampas yang terbuang.
              Kakek. Dia paling geram dengan aksiku. Aku bisa merasakan kesiur angin membawa aroma tubuhnya. Benar saja. Dari kejauhan kulihat kakek berjalan cepat seraya berkacak pinggang. Sebenarnya aku ingin lari, tapi aku tak tega. Kakek pasti lelah seharian menanam padi. Jadi, ketika kakek sehadapan denganku. Aku Cuma memberikan senyum termanisku. Berharap kakek luluh. Dan, kakek pun, seperti yang sudah-sudah, luluh, tersenyum dengan gigi ompongnya.
                Siang setelah panen tebu pertama adalah malam perayaan. Pabrik metik, begitu kami menyebutnya. Jangan bayangkan kami akan memetik pabrik-prabik yang ada. Ini, pasar malam. Ada banyak permainan, tong setan, drum molen, komedi putar, penjual mainan, jajan, arum manis, dan yang paling kucari-kacri adalah kapal otok-otok. Mainan kapal yang terbuat dari seng. Di tengah badan kapal ada nyala api, juga cerobong kecil yang mengeluarkan asap, melaju berputar di atas baskom berisi air. Selalu, aku merengek dibelikan itu. Tak perlu menangis tersedu, aku bisa memerolehnya, karena kakek dengan suka rela membelikannya untukku.
                Komedi putar, itu istilah yang kutahu setelah dewasa. Ketika kecil, aku dan kawanku menyebutnya undar. Undar hanya berputar saat petang. Lampu-lampu warna-warninya akan berpendar menawan. Merayu kami untuk naik, bukan cuma sekali. Aku lebih suka duduk di kereta kencana. Membayangkan aku adalah sekar kedaton[1]. Kakek akan tersenyum kegirangan, sambil melambaikan tangan keras-keras. Aku tak kalah heboh, keras berteriak, hingga semua mata terpana.
                “Itu Kakekku. Kakek rangking satu sedunia!”
                Puas dengan undar dan kapal otok-otok. Sebelum duduk di boncengan sepeda. Aku akan menarik-narik lengan baju kakek. Seraya merayu, genit.
                “Kakek, kalau Kakek membelikanku arum manis. Kakek akan hidup sampai dua ratus tahun. Beli kan, ya Kek?”
                “Apa kalau hidup selama  itu, bosen, Ndo[2]?”
                “Ow, ya tidak, Kek. Kan setiap tahun, kita bisa ke pasar malam, Kek.”
                Kakek pun terkekeh. Lantas, arum manis merah jambu berhasil kucaplok. Mulut belepotan sisa-sisa arum manis yang mengering. Seolah berpacu dengan angin yang membuat arum manis mengempis, aku rakus mencomot. Mengunyah dengan suapan besar-besar.
                Di boncengan kakek dengan tapih terlipat supaya empuk dan bokong tak sakit, serta kaki diikat, supaya tak kena jeruji, aku anteng[3] mendengarkan kakek berkisah. Kakek, selalu seperti itu. Tak bisa diam ketika mengayuh sepeda dengan aku diboncengannya. Dia akan mengajak bercerita. Mendongeng. Bukan Kancil Nyolong Timun, atau Kancil dan Buaya yang diceritakan guru di sekolah. Tapi ini dongeng versi kakek. Setelah Ilalang Malang, kali ini Raja Padi.
                “Begitulah akhirnya. Raja Padi bertahta lagi. Rakyat semakin menyegani. Jadilah Negeri Ladang, menjadi negeri yang gemah ripah loh jinawi[4]. Mbesuk, nek wis pinter[5], tirulah Raja Padi. Saya ngisi, saya nunduk[6]. Ngerti kowe, Ndo[7]?”
                “Mbonten[8], Kek,” jawabku diselengi tawa kecil.
                “Ojo sombong, nek wis pinter tur akeh ilmu. Gampangane ngono[9].
                Malam itu bulan penuh. Menggantung di langit. Langit jadi tak pekat. Kami melaju pelan. Menyusuri jalanan yang semarak oleh kerik jangkrik, teriakan katak, dan samar aroma tebu yang terbawa angin.
                Itulah kisahku. Kenanganku sebagai anak desa, cucu kakek. Malam itu, juga hari yang kulalui bersama kakek adalah mozaik-mozaik indah hidupku. Kini kakek telah tiada, diusiaku sekarang, dua puluh tahun. Maka itu, aku menuliskan kisahnya. Mencoba menghadirkan kembali kenangan indah itu. Semoga saat ini kakek bahagia di dunia yang tak bisa kujamah. Seperti sekarang aku bahagia di duniaku ketika menulis kisah tentangnya.
    *
                Komedi putar itu masih saja berputar-putar. Ada lampu warna-warni di sana. Juga tawa riang anak-anak. Aku tersenyum kecil. Dulu aku pernah duduk di situ. Dan kakek terseyum, melambaikan tangan, di tempatku berdiri sekarang.


    [1] putri raja
    [2] bahasa Jawa:Nak
    [3] bahasa Jawa: Tenang
    [4] makmur
    [5] besok, kalau sudah pintar
    [6] Semakin berisi, semakin merunduk
    [7] Tahu kamu, Nak.
    [8] Tidak
    [9] Jangan sombong kalau sudah pintar dan banyak ilmu. Mudahnya seperti itu.

    2 Komentar untuk "Komedi Putar"

    1. temanku ini sekarang sudah jadi penulis hebat ya. Bravo!!! Keep working on it!!

      BalasHapus
    2. Hi Hijrian..terima kasih berkenan membaca tulisanku ini. Terima kasih juga untuk supportnya. Sudah melancong ke mana saja?

      BalasHapus

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel