Recent Posts

    PENTINGNYA SETTING LOKASI DI DALAM KARYA FIKSI


    -->Oleh Gol A Gong
    Sering saya membaca sebuah cerita fiksi yang membawa saya berkeliling dunia lewat imjinasi kata. Betapa pandai si pengarang menuangkannya. Membaca “Ayat-ayat Cinta” (Habiburrahmna el-Shirazy) seolah sedang menyusuri Kairo dan Dibutuhkan kepekaan untuk bisa menuliskan sebuah tempat. Saya merasa, setiap hari melintasi Jaskarta, tapi... tidak pernah berhasil menuliskannya. Alexandria. Begitu juga membaca “Laskar Pelangi”, ingin hati ke Belitong. Bagaimana mereka bisa dengan hebat menuliskannya?

    PEKA AMATI
    Apa betul harus peka mengamati tempat yang kita singgahi? Sekarang saya sedang berada di Palembang. Saat check in, saya terssenyum-senyum di lobi hotel Budi, di kawasan Kampung Ilir. Disain interiornya boleh juga. Ada banyak barang antic dipajang. Sepeda ontel, kamera jadul, uang kuno, mesin jahit, mesin tik. Asik.Mengundang selera. Nah, bagaimana caranya mengabarkan lobi antic ini kepada teman-terman lewat status di FB atau email? Saya coba ya:

    Lobi hotel seukuran rumah tipe 21. Begitu masuk, di sisi kana nada serpeda ontel. Aku langsung tergelitik dan ingin menungganginya. Tapi, urung! Da tulisan “Tidak boleh diduduki, apalagi dicuri. Kalau nekad, dilmpar mpek-mpek kapal sela, beneran, mau?” Hmm.Selera humornya lumayan juga. Di sisi kiri ada pojokan ruang tamu dengan kursi tua juga. Mejanya dari marmer, mengkilat karena sering digosok.  Membentur ke tembok ada meja melengkung ibarat benteng, dimana resepsionis siap menulis nama para tamu dan memberikan kunci kamar. Sudah ada 3 orang mengantri. Tapi, aku kecewa, karena pegawainya bukan gadis-gadis cantik dan sexy, tapi nenek-nenek. Mentang-mentang serba tua dan barang antic, sehingga pegawainya pun merasa perlu serba tua.

    Nah, bagaimana? Apakah berhasil? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, da banyak cara penulis hebat meraciknya. Tentu berbeda-beda.. Saat saya menuliskna lobi hotel itu, saya ingin menulis ceriota komedi saituasi. Berhasilkah? Pembaca yang menilainya.

    Ini tentu seperti Albert Enstein bilang, “Imajinasi tidak terbatas.” Sebetulnya, hotel itu tidak mempekerjakan nenek-nenek. Saya hanya terinspirasi sja saat melihat banyak barang antic di lobi hotel, di restorannya, bahkan di setiap sudutnya. Aih, lucu juga kalau pekerjanya kakek dan nenek-nenek.

    Lalu, saya nongkrong di Benteng Kuto Besak. Duduk memandangi sungai Musi. Betapa beruntungnya warga Palembang, dianugrahi sungai Musi, sehingga jika penat bisa duduk-duduk menikmati riaknya, deru motor perahu sambil nyicip mpek-mpek. Di Jambi saya menikmati senja di Ancol, Batanghari. Di Bengkulu menjelajahi Fort Malborough. Di Bukit Tinggi nongkrong di Jam Gadang, Fort De Cock dan Ngaray Sianok, di Pangkal Pinang dan muntok menyelami bukit Menumbing. Dan masih banyak lagi tempat yang membuat hati tergugu. Bagaimana caranya aku menikmati ini swemua dalam kata-kata, agar orang yang tak mamiliki waktu dan kesempatan bisa juga plesiran lewat kata?
    Jadi saya pikir, penting sekali memiliki pikiran dan hati yang peka terhasdap lingkungan. Makanya, jika berpergian, janganlah terlalu asik dengan diri sendiri, apalagi main BB (SMS-an). Sebaiknya, saat di wilayah public, pasang mata-hati-pikiran-teliga. Dengan begitu, kita sudah membuka peluang untuk menuliskan tempat yang kita junjung dengan tambahan imajinasi.

    DATA DETAIL 
    Tapi, bagaimana carannya? Setiap hari saya dan kamu menuliskan Monas. Bagimana kesanmu? Kalau saya:
    Bung Karno membuat semua orang di dunia menengadahkan kepalanya saat berada di pusat Jakarta. Semua memiliki khayalannya masing-masing. Aku hanya membayangkan, emas itu untuk mas kawin lamaran, pasti Putri Seroja itu akan bertekuk lutut di kakiku!
    Cara yang paling mudah adalah kita bersikap seperti petugas sensus. Apa saja yang harus kita lakukan, agar lukisan indah di depan itu bisa kita pindahkan ke dalam kata-kata? Ini dia:
    1. Memotretnya 
    2. Membuat daftar  seperti barang di toko. Midalnya untuk sungai Musi; trotoar, perahu, rumah apung/rakit, air mancur, benteng, dermaga 
    3. Membuat denah sesuai dengan arah mata angin. 
    4. Mewawancarai warga; mengumpulkan kesan-kesan mereka. 
    5. Sejarah tempat, bisa dari buku atau wawancara 
    6. Tambahkan sama kamu?

    PELUANG PEMBACA
    Sebagai penulis, saya ingin sekali – walau suka gagal – memberi kesempatan kepada pembaca untuk berimajinasi dengan kalimat yang saya buat tentang setting lokasi. Misalnya mkita bisa menyampaikan maksud setting lokasi tanpa perlu menyebutkannya. Misalnya, terminal, pasar, serkolah, dll. Misalnya:
    Randy menyeka wajahnya dengan tisu, karena debu dan asap knalpot  menyelimuti udara, bercampur dengan bunyi klakson dan teriakan  kernet , “Yogya, Yogya!”

    Ayo, itu setting lokasi di mana? Di terminal. Tapi, saya tidak menyebutkannya.
    Satu contoh lagi:

    Anak-anak berlarian meminggir dari rel, ketika terdengar suara peluit memekik nyaring. Mereka seperti sedang menggiring bola saja, melakukan manuver penyerangan, zig-zag di atas lajur rel kereta. Mereka menyambut kehadiran ular besi itu dengan mengejarnya, berlari sejajar seolah sedang adu sprint. Dua orang anak tersandung batu dan terpelanting. Walaupun hal ini sudah biasa, para ibu mereka tetap saja menjerit histeris, khawatir anak mereka mati terlindas roda besi. (Labirin Lazuardi, Langit Merah Saga)
    Nah, ini di mana? Suilahkan tebak. Kalau ketebak, saya traktir Mpek-mpok. Datang aja ke sungai Musi, di depan Benteng Kuto Besak. Tanyakan pada orang-orang, saya pasti sedang asyik mandi. Selamat menulis. (*)

    Hotel Budi, Palembang, 22 April 2011

    Belum ada Komentar untuk "PENTINGNYA SETTING LOKASI DI DALAM KARYA FIKSI"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel