Recent Posts

    RENDEZVOUS # 1


    --> -->
    Saat ini, jika dia menghentikanku maka aku akan berhenti.
    Jika dibilang, jangan pergi maka aku tak akan pergi.
                    “Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik. Kalau ketemu YUI sampaikan salam dariku,” ucap Raka seraya mengerlingkan mata.
                    “Baiklah.”
                    “Jangan lupa kirim email.”
                    Dia semakin berjalan menjauh dari tempatku berdiri. Aku masih bisa melihat punggungnya dengan jelas. Lantas dia berbalik. Melambaikan kedua tangannya padaku.
    Mungkinkah dia menyadari tentang semua ini. akankah dia datang? Sungguh aku mengharapkan dia akan datang. Dia. Dia impianku. Tapi benarkah seperti itu?
    Entah sudah berapa kali aku meremas jariku. Menggigit tepi bibirku. Melihat layar ponsel yang aku genggam. Tak ada panggilan masuk. Juga pesan masuk.
    “Kenapa? Apa ada yang tertinggal?”
    Aku menggeleng.
    “Setengah jam lagi,” katanya lagi, lantas menepuk pundakku.
    Aku tersenyum. Dia membalas senyumku.
    “Teri…”
    “Ada apa?”
    Aku teridiam. Menatap matanya yang berkedip-kedip. Di dalamnya cahaya itu menyala-nyala. Binary-binar itu telah lama merindukan Tokyo, skura, musim dingin di Yokohama, mantel bulu yang sethaun lalu dia beli. Teri, dia yang paling bersemangat mengejar beasiswa ke Jepang ini.
    Dia mengulang pertanyaan lagi. “Ada apa?”
    “Benarkan ini nyata?”
    Dia memelototiku, lalu melebarkan bibirnya. Terawa. Bahunya berguncang-guncang.
    “Auw,” jeritku sembari mengusap-usap pipiku. Barusan dia mencubit pipiku keras.
    “Kau sudah tahu jawabannya,” balasnya tanpa meminta maaf telah membuat pipiku merah.
    Tidak. Aku belum tahu jawabannya. Lalu bagaimana aku tahu jawabannya jika aku tak pernah bertanya padanya? Tidak. Aku tak perlu jawabannya. Dia yang terlalu bodoh tak menyadari semua ini. Dia buta, dia tuli, dia lumpuh. Pecundang.
    Mungkin terlambat untuk menyadari bahwa memang benar. Ada cinta untuknya. Masih seperti tujuh tahun lalu. masih tersimpan rapi, malah semakin bersemi. Sebentar lagi. Setelah aku pergi dari sini. Semua itu. Cinta itu. Cinta yang tak berlabuh. Cinta yang terabaikan. Aku harap akan mati. Mati. Tak akan pernah hidup lagi. Berakhir.
    “Kau masih membawanya?” tanya Teri membuatku sedikit malu karena ketahuan melamun.
    “Apa? Balasku tak mengerti yang dia maksud.
    “Gantungan ponselmu. Bukankah ini dari Aidan?”
    Lantas masa itu kembali tersirat di mataku. Hari, itu. Saat mereka bilang ini hari kasih sayang. Saat berbagi kasih. Saat membagi cinta. Merayakan dengan coklat. Aku menerima gantungan ini darinya. Aku masih ingat benar. hatiku saat itu. juga prisma matanya yang menatapku.
    “Kenapa tak memberiku cokelat?”
    “Karena aku hanya mampu membeli itu,” jawabnya seraya menyimpulkan senyum.
    “Untukmu.”
    Kulihat matanya melebar saat membuka kotak pemberianku. Lantas dia kembali menatapku. Masih dengan tatapan elangnya.
    “Kau membuatnya?”
    “Aku membelinya,” jawabku singkat seraya meringgis. Memamerkan gigi putihku yang berjajar rapi.
                    Sudah tiga tahun berlalu, tapi masih sangat jelas. Masih terekam sempurna di otakku. Hari itu, untuk kali pertama. Aku membohonginya. Juga mengingkari hatiku. Satu hari sebelum hari itu, aku membuatnya. Aku membuat coklat beruang itu untukknya. Hari itu, aku berbohong padanya. aku tak ingin terlihat menyedihkan. Aku tahu dia menerima banyak cokelat dari gadis lain. Cokelat yang mahal. Aku juga tahu, dia memberikan cokelat untuk teman-teman ceweknya. Maka, logikaku tak mengizinkanku untuk berkata jujur.
                    “Bocah itu…kau tahu. Saat aku ke rumahnya dia sedang membuat itu.”
                    “Membuatnya?”
                    “Iya, dia membuatnya dari kayu.”
                    Dia membuatnya sendiri? Entah mengapa aku senang mendengarnya. Juga banyak pertanyaan yang menganjal. Juga keraguan yang menyergap. Dia membuatnya sendiri untukku. Kenapa hari itu dia juga berbohong padaku? Apakah rasa itu juga sama. Benarkah seperti itu? kini aku malah berharap. Membayangkan dia akan menyusulku ke sini. Menahanku untuk tak pergi lantas bilang cinta padaku.
                    Ponselku bordering. Nomor tak bernama. Ragu aku menjawabnya. Tapi suara itu menyentakkan semua nadi kehidupan di tubuhku. Hatiku sangat bergemuruh. Lagi, suara itu berkata hallo. Lantas dia berkata lagi.
                    “Aku tak akan menghentikanmu.”
                    Dia takkan menahanku.
                    “Aku tahu ini impianmu. Ini impianmu.”
                    Benarkah dia tahu impianku?
                    “Pergilah. Kejar mimpimu.”
                    Ini memang kenyataan. Aku harus pergi.
                    “Tak usah ragu untuk itu. Aku…aku akan menunggumu.”
                    Menungguku? Kenapa?
                    “Aku mencintaimu.”
                    Dia mencintaiku.
                    “Aku mencintaimu.”
                    Dia mencintaiku.
                    “Sunggu aku akan menunggumu.”
                    Aku akan kembali untukmu.
                    “Kania? Kau mendengarku?”
                    “Aku mendengarmu. Sangat jelas…”
                    …
    Oleh Kartika Hidayati
    18-12-2010

    Belum ada Komentar untuk "RENDEZVOUS # 1"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel