Recent Posts

    Kupanggil Mereka “Beb”


    -->
    Bagaimana munngkin aku kesepian di Semarang. Kota tempat aku kuliah. Di situ aku mempunyai tiga Beb. Baiklah kumulai dengan Beb Pertamaku.
                Beb Pertamaku. Dia selalu menguatkanku. Mendukungku dalam hal karya tulis. Prestasinya di bidang Karya Tulis Ilmiah cukup lumayan. Terkadang dia menjadi juara, tapi tak jarang dia juga kalah. Satu hal, dia pantang menyarah. Semakin gagal. Semakin dia mencoba. Ketika presentasi, dia selalu aktif bertanya. Dia akan menimpaliku dengan pertanyaan yang membuat kami berdebat. Ah, itulah esensi presentasi. Aku akan sangat merindukan semua itu.
                Hal tak terlupakan adalah ketika dia menangis die pan semua tim pentas drama. Itulah kali pertama aku menyadari bahwa Beb Pertamaku juga seorang perempuan yang bisa rapuh. saat itu juga aku juga sadar. Aku bukan primpo yang baik untuk pentas drama yang akan kami gelar. Air matanya sungguh membuatku meradang. Tiap bulir yang jatuh seakan menerorku. Barangkali aku memang aku tak mampu memimpin. Tapi terror itu yang akan tetap mengingatkanku. Aku akan terus melaju untuk menjadi pemimpin yang baik suatu hari nanti.
                Aku tahu. betapa saat itu dia telah lelah berjuang tanpa ulur tangan kami. Aku tahu. dia tak rela pentas ini gagal. Aku juga tahu dia ingin pentas kami mendapat apresiasi A. Pengorbanannya saat itu jauh lebih besar daripada aku yang seorang primpo. Itulah Beb Pertamaku. Orang selalu menguatkanku. Dia membuat perjalananku sebagai pemimpin tidak terasa berat. Kau tahu? dia yang selalu mengulurkan tangan tanpa kuminta. Dia yang membuatku semakin berani menghadapi kenyataan bahwa aku pemimpin dan aku mahasiswa.
                Beb Keduaku. Umurnya dua tahun lebih tua dariku. Mungkin itu yang membuatnya lebih terlihat dewasa. Dewasa dalam hal pemikiran juga. Dia yang menerapkan slogan sebuah produk susu tinggi kalsium. “Berjalan Sepuluh Ribu Langkah Perhari.” Kosnya yang jauh dari kampus, membuatnya harus melakukan itu. biar pun ada angkutan umum dia memilih untuk berjalan kaki. Hemm…sepertinya itu hal yang sulit untuk aku lakukan.
                Dia akan selalu merasa merindukan Allah. Tiap kali aku melihatnya salat Duhur. Dia akan menjalankan salat sunah terlebih dahulu. Setelah itu…dia akan berdoa dengan khusuk dan berdizikir. Jika kau orang sepertiku yang hanya salat Duhur, dan terkadang lupa berdzikir. Kau akan sangat gelisah menunggunya selesai salat. Bahkan aku mampu menyelesaikan dandanku dengan make up minimalis seraya menunggunya selesai salat.
                Dalam hal mendukung visi dan misiku. Dia adalah orang yang tepat. Bentuknya bukan sekadar ucapan, “Aku mendukungmu, Beb.” “Aku selalu mendukungmu, Beb.” “Aku mendukungmu dari belakang, Beb.” Klise sekali rasanya. Dia orang mau bersamaku, duduk di sampingku, dan mendengarkan ide - ideku. Dia orang mau berjalan bersamaku, menunggu bersamaku untuk menyempurnakan blog kami. Dia orang mau pulsanya sedikit berkurang untuk menghubungi pemenang peksimida yang akan menjadi pembicara dalam diskusi sastra. Itulah bentuk dukungannya.
                Beb Keduaku akan sangat senang jika diajak berfoto. Jika itu kau lakukan. Narsisnya akan mencapai klimaks. Centil abis. Meskipun begitu dia bisa duduk manis dengan anggun ketika menemaniku ikut kajian. Pernah suatu kali raut mukanya begitu layu ketika baju muslim impiannya setelah diperkecil menjadi janggal dipakai. Seorang dewasa pun bisa kenak-kanakan. Itu karena kita pernah menjadi anak-anak bukan? Maka tak usah dirisaukan.
                Dia tidak pernah bisa mengimbangi langkah panjangku. Jika makan, dia lebih banyak selesai terakhir di antara kami, Shafira Club. Gerakannya seperti nenek-nenek osteoporosis. Begitu pula gerak bibirnya saat dia bicara. Itulah Beb Ketigaku. Biarpun begitu, Beb Ketigaku adalah orang yang penuh rasa ikhlas. Sesuai slogan kota kelahirannya “Pemalang Ikhlas.”
                Tak sekali pun kulihat dia marah, atau sekadar menekuk mukunya hingga terlihat lebih jelek. Tidak juga menaikkan alisnya dengan lubang hidung kembang kembis hingga terlihat garang. Dia anti hal-hal seperti itu. dia memang bukan orang ekstovet yang bisa dengan mudah mengeluarkan isi pikirannya dan bebean hatinya. Sifatnya yang satu itu berbanding terbalik denganku. Tapi bukankah akan jauh lebih indah jika saling mengisi?
                Beb Ketigaku. Dia yang paling dekat denganku. Bukan dekat dalam hal rasa. Tapi kami dekat secara fisik. Bagaiman mungkin kami tidak dekat secara fisik, jika kami pernah tidur satu ranjang. Aku seringkali melihat tubunya hanya berbalut handuk, dan melihat wajahnya yang kusut ketika dia bangun tidur. Juga melihat mukanya tegang ketika menonton GP di TV.
                Orang yang mau mencucikan sendok, gelas, terkadang juga piring yang aku gunakan untuk makan. Beb Ketigaku, juga mau merebus air untuk membuat teh ketika aku sakit. Itulah Beb Ketigaku, dia bisa menjadi teman setia ketika aku sakit dan aku membutuhkan bahunya untuk kepalaku sejenak bersandar.
                Aku mempunyai mereka, yang kupanggil, Beb. Bagaimana mungkin aku akan kesepian? Aku mempunyai tiga beb yang hebat. Meskipun sekarang saling berjauhan, kami tetap saling menguatkan. Kami masih saling berbagi.

    Belum ada Komentar untuk "Kupanggil Mereka “Beb”"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel