Recent Posts

    Kembali Menulis

    -->

                Aku selalu ingin berkata ini padanya:
                Kamu harus bahagia. Harus hidup dengan baik. Jika kau selalu terpuruk itu membuatku tak bahagia.
                Tapi aku juga selalu takut. Takut dia akan memberondongku dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Lebih takut lagi, jika aku tak mengucapkan kalimatku dengan benar dan jelas di depannya. Bahkan seandainya benar itu kukatakan, mungkin dia pura-pura tak mendengar. Atau malah dia menertawakanku karena dikira aku sudah tak waras.
                Entah kapan tepatnya aku mengenalnya. Tapi kisah tentangnya masih jelas berpendar. Tak akan semudah itu membias. Aku sering mengenangnya dengan menceritakan kekonyolannya pada teman-teman baruku. Atau pada teman semasa sekolahku dulu. Sekadar bernostalgia mengenang wajah bakpaonya yang lebay.
                Aku masih ingat hari itu. Ketika tanpa dia tahu, dia menyadarkankan satu hal. Aku suka menulis. Aku bisa menulis. Aku masih mampu menulis. Sebelum hari itu, dia menelponku. Tak jelas apa yang dia katakan. Yang kutahu dia menangis. Dia benar-benar menangis saat itu. Tak ada pembicaraan. Hanya tangis menggebu dan nafas terisak yang kudengar. Lantas telepon terputus begitu saja. Esoknya, aku membaca pesan darinya. Dia menulis, barusan dia menangis. Teringat cinta pertamanya yang telah menjadi milik orang lain. Kawanku yang malang. Dia yang tak pernah mengungkapkan cinta pada yang dia cintai. Dia yang selalu tak berdaya karena cintanya.

                Lantas entah apa yang terjadi denganku, aku benar tak tahu. Aku marah saat itu. Sangat marah padanya karena dia terus menangis. Marah karena dia tak tahu aku sedang marah. Marah karena dia masih mengingatnya. Menyimpannya di hatinya. Tak membuangnya ke jurang paling dalam. Sangat marah pokoknya. Lalu, aku menjadi bingung. Bingung pada diriku. Bingung pada sikapku. Bingung pada kemarahanku. Mengapa? Mengapa harus marah? Itu tak perlu. Sungguh tak perlu marah.
                Maka aku hanya merebahkan diriku. Bergulang-guling tak jelas. Mengedip-ngedipkan mata memandang langit-langit kamar. Sesekali melihat layar ponsel, lantas membantingnya di kasur. Menutup telinga dengan guling. Mengucek mata. Menggaruk rambut yang tak gatal. Hingga aku tersadar satu hal. Itu yang harus kutulis. Aku tak perlu marah. Aku hanya perlu menulis.
                Setelah hampir empat tahun, semenjak karyaku dimuat di sebuah tabloid nasional. Akhirnya aku kembali menulis cerpen sebagai bentuk kemarahanku. Kujadikan dia sebagai tokoh aku. Aku yang selalu menangis. Aku yang patah hati. Aku yang suka makan cokelat. Aku yang tersiksa atas perlakuan ayahku. Aku yang bersedih karena pertengkaran orang tuaku. Aku yang selalu menerima cokelat koin dari sahabatku ketika aku bersedih. Aku yang terlambat menyadari ternyata aku lebih mencintai sahabatku. Aku yang malam itu, menyadari aku bukan Superman. Maka aku menangis jika kekasih hati meninggalkanku. Itulah. Itulah bentuk kemarahanku. Kebingunganngu. Kegelisahannku. Cerpen yang kuberi judul “Chuwi Choho”
                Setelah kuedit berkali-kali. Akhirnya aku berani mengirimkan cerpenku itu untuk lomba LCCG 2009. Suatu ketika, temanku mengabarkan. Cerpenku masuk 50 nominasi. Betapa girang aku saat itu. sungguh bahagia. Tapi aku tak bisa membagi bahagiaku dengannya. Dia tak di sampingku. Saat itu, aku harap dia juga bahagia. Seperti aku bahagia saat itu. Sungguh mendoakannya dia benar-benar bahagia di sana.

    Belum ada Komentar untuk "Kembali Menulis"

    Posting Komentar

    Iklan Atas Artikel

    Iklan Tengah Artikel 1

    Iklan Tengah Artikel 2

    Iklan Bawah Artikel